CeritaRakyat La Moelu. Pada zaman dahulu, di suatu desa kecil di Sulawesi Tenggara, hiduplah seorang anak laki-laki bernama La Moelu. Saat ia masih bayi, ibunya meninggal sehingga dirinya hanya tinggal dengan ayahnya saja. Sayangnya, sang ayah telah tua renta dan tak bisa mencari nafkah.
Kamu sedang mencari bacaan untuk menghabiskan waktu luang? Bila ingin membaca cerita rakyat Nusantara, kisah dari Sulawesi Selatan berjudul Oheo mungkin bisa kamu jadikan pilihan. Kisah lengkapnya bisa kamu baca di artikel ini!Sulawesi Tenggara memiliki banyak legenda atau cerita rakyat. Selain La Sirimbone, La Moelu, dan Gunung Mekongga, ada pula cerita rakyat Oheo. Legenda tersebut memiliki kisah yang menarik dan sarat adalah seorang pemuda yang bekerja sebagai petani tebu. Dalam cerita rakyat ini, ia mencuri selendang dari Bidadari yang sedang mandi di sebuah sungai. Sempat tak mengakui perbuatannya, pemuda itu akhirnya meminta sang Bidadari untuk menikah bagaimanakah kelanjutan cerita rakyat Oheo? Apakah bidadari itu setuju menikah dengannya? Kalau penasaran, teruskan saja membaca artikel ini. Tak hanya kisahnya saja, berikut ini telah kami paparkan juga unsur intrinsik, pesan moral, dan fakta menariknya. Selamat membaca!Cerita Rakyat Oheo Pada zaman dahulu, hiduplah seorang pemuda bernama Oheo yang tinggal di sebuah desa kecil di Sulawesi Tenggara. Untuk mencukupi kebutuhan kesehariannya, ia bekerja sebagai seorang petani tebu. Tiap pagi, ia pergi ke hutan untuk mengunduh tebu. Di dalam hutan itu terdapat sungai yang airnya sangat jernih. Usai mengunduh tebu, ia mencucinya di sungai sambil melihat burung-burung nuri yang sedang asyik bermain air. Pada suatu siang, Oheo yang hendak ke sungai untuk mencuci tebu, mendengar suara para gadis. Ia lalu mengintip sungai itu dari balik pohon. Ternyata, ada 7 bidadari cantik yang sedang mandi di sungai itu. “Wah, baru kali ini aku melihat para-paras cantik bidadari. Aku ingin menikahi salah satu dari mereka. Tapi, bagaimana caranya, ya?” ucap pria itu dalam hati. Saat sedang berpikir, ia melihat selendang miliki para bidadari itu yang letaknya tak jauh dari persembunyiannya. Dengan cepat dan acak, ia mengambil salah satu selendang. “Mungkin saja aku bisa menikahi pemilik selendang ini,” ujarnya dalam hati. Ia lalu menyembunyikan kain itu di ujung kasau bambu. Kemudian, ia kembali ke sungai untuk melihat siapakah pemiliki selendang itu. Ia lalu mendapati sang bidadari sedang kebingungan mencari selendangnya. Ia tak bisa kembali ke khayangan. Sedangkan bidadari yang lain sudah kembali ke khayangan terlebih dahulu. Baca juga Cerita Rakyat Asal-Usul Gunung Pinang dan Ulasan Lengkapnya, Kisah Seorang Anak Laki-Laki yang Durhaka Mendekati Sang Bidadari “Hmm, cantik sekali bidadari ini. Aku akan lekas mendekatinya,” ucap Oheo dalam hati. Ia lalu berjalan mendekati wanita itu. “Hai, wanita cantik. Apa yang kau lakukan di sini? Siapa namamu?” tanya pria itu pura-pura tidak tahu. “Namaku Putri Anawai. Aku sedang mencari-cari selendangku. Apakah kamu melihatnya?” tanya Putri. “Selendang? Aku tak melihatnya,” ucap Oheo berbohong. “Benarkah kamu tak melihatnya? Tidak ada orang lain di hutan ini selain kamu. Jangan-jangan kamu menyembunyikannya?” tanya sang Putri memelas. “Kenapa kau menuduhku? Akan aku bantu mencari selendangmu. Tapi, jika aku berhasil menemukannya, kamu harus menikahiku!” ucap pria itu. “Aku tidak mau! Tujuanku mencari selendangku adalah untuk kembali ke asalku. Aku bisa mencarinya sendiri. Kau tak perlu membantuku,” bentak Putri Anawai. Lalu, Putri Anawai mencari ke seluruh penjuru sungai dan hutan. Tapi, ia tak kunjung menemukan selendenganya. Hingga akhirnya, ia pun kelelahahn dan menangis karena tak bisa pulang. Setelah itu, Oheo kembali menemui Putri Anawai yang sedang putus asa. Ia lalu menunjukkan selendang milik bidadari itu. “Inikah yang kamu cari?” ucap Oheo. “Benar kataku! Kau menyembunyikan selendangku! Cepat kembalikan milikku sekarang juga!” bentak Putri Anawai. “Tidak semudah itu, Putri. Aku akan mengembalikannya jika kamu mau menikah denganku,” ucap Oheo memaksa. Perjanjian Pernikahan Awalnya, Putri Anawai menolak. Namun, karena tak bisa berkutik, ia pun menerima permintaan pria itu. “Baiklah, aku akan menerima tawaranmu. Tapi ada syarat yang harus kau penuhi!” ucap sang Putri. “Harusnya sedari tadi kau menerima tawaranku. Kenapa harus mempersulit hidupmu sendiri. Cepat ucapkan permintaanmu. Aku akan berusaha untuk mengabulkannya,” ucap petani tebu ini. “Aku tak ingin membereskan rumah. Kamu harus memperlakukanku dengan istimewa. Jika nanti aku punya anak darimu, kamulah yang harus membersihkan kotorannya,” ucap sang Putri. Tanpa pikir panjang, Oheo langsung menyetujui permintaan tersebut. “Baiklah, aku setuju dengan permintaanmu. Bagiku hal-hal tersebut tidaklah menjadi masalah buatku,” ucapnya. Kemudian, mereka pun melangsungkan pernikahan. Sesuai perjanjian, Putri Anawai tidak melakukan pekerjaan rumah. Mulai dari masak, membersihkan rumah, hingga bekerja, semua Oheo lakukan sendiri. Tak berselang lama setelah menikah, Putri Anawai pun hamil dan melahirkan. Setiap anaknya buang hajat, Oheo lah yang membersihkan kotorannya. Lama kelamaan, Oheo merasa tak terima. Ia kerap memarahi Putri Anawai. “Ini kan pekerjaan sederhana! Harusnya kamu tak perlu membuatku membersihkan kotoran bayi ini!” bentak pria itu. “Bukannya kau sudah berjanji bakal membersihkan kotoran anak kita? Kalau kau tak bisa menepatinya, cepat kembalikan selendangku. Lebih baik aku kembali ke khayangan,” ancam Putri Anawai. Merasa takut ditinggal oleh sang istri, Oheo pun menuruti perkataannya. Ia dengan sangat terpaksa membersihkan kotoran dari anak mereka. Setiap hari, ia juga memandikan dan mengganti baju sang anak. Tak Lagi Takut dengan Ancaman Putri Anawai Pada suatu hari, Putri Anawai berteriak-teriak memanggil suaminya. Alasannya karena sang anak buang air besar. Karena sedang lelah dan kesal, Oheo menolak permintaan sang istri. “Kali ini aku tak akan membersihkannya. Aku lelah!” ucap sang suami. “Bagaimana dengan janji-janjimu? Kau hendak mengingkari janjimu!” ucap Putri Anawai. “Ah terserah! Jika kau ingin kembali ke khayangan, kembalilah! Aku tak peduli lagi dengan janji kita!” bentak Oheo seraya meninggalkan rumah. Putri Anawai lalu membersihkan kotoran anaknya sambil menangis. Ia teringat akan janji-janji suaminya di masa lalu. Tak hanya itu, dirinya juga teringat dengan kehidupannya semasa di khayangan. Karena itu, ia pun memutuskan untuk kembali ke khayangan. Ia berusaha mencari selendangnya di rumah. Tak lama kemudian, ia pun berhasil menemukannya. Ia lalu mencium anaknya sambil menangis. “Maafkan aku, Nak! Ayahmu telah ingkar janji. Ibu tak bisa hidup seperti ini. Maafkan Ibu harus meninggalkanmu,” ucap Putri Anawai sambil memeluk anak bayinya. Ia lalu mengenakan selendangnya dan kembali ke khayangan. Kembalinya ke rumah, Oheo terkejut mendengar anaknya menangis sendirian. Ia pun mencari-cari istrinya, tapi tak kunjung ketemu. Lalu, ia melihat tempatnya menyimpan selendang. “Ah, kamu ternyata benar-benar kembali ke khayangan,” ucapnya menyesal telah membentak Putri Anawai. Merawat Anak Seorang Diri Oheo merasa kesulitan merawat anaknya seorang diri. Tiap hari ia menggendong anaknya yang menangis minta susu. Karena sudah tak kuat lagi melihat anaknya menangis, ia pun mencari tahu bagaimana cara pergi ke khayangan. Ia sangat ingin bertemu dengan Putri Anawai. Setelah mencari-cari tahu, ia akhirnya berhasil mendapatkan informasi penting. Menurut para warga, Oheo harus menemui Suku Tolaki untuk meminta bantuan pergi ke khayangan. Dengan membawa anaknya, Oheo pun memberanikan diri untuk menemui orang-orang Suku Tolaki. Ia mengatakan alasannya ingin pergi ke khayangan dengan anaknya. Pemimpin Suku Tolaki pun setuju untuk membantunya. Tapi, ada syarat yang harus ia penuhi. Syarat tersebut cukup sulit, yakni Oheo harus membuat cincin dari rotan bernama ue wai yang tumbuh di hutan belantara. Meski berat, dengan senang hati Oheo mencari rotan ue wai sambil menggendong anaknya. Ia sangat menyesal telah memperlakukan sang istri dengan sangat buruk. Setelah berhasil membuat banyak cincin, Oheo kembali menemui Suku Tolaki. Kemudian, pemimpin suku itu memintanya memeluk erat-erat sang anak dan duduk di atas cincin-cincin yang terbuat dari ue wai tersebut. Pemimpin Suku Tolaki juga berpesan, “Tutuplah matamu. Jika nanti ada suara pertama, jangan buka mata. Tetaplah tutup matamu da gendong erat-erat anakmu. Jika kau sudah mendengarkan suara kedua, bukalah matamu.” Baca juga Cerita Rakyat Ular Kepala Tujuh dari Bengkulu & Ulasan Menariknya, Bukti Kerendahan Hati dan Keberanian Bisa Mengalahkan Kekejian Tiba di Khayangan Oheo mengikuti saran kepala Suku Tolaki tersebut. Setelah mendengar suara kedua, ia telah berada di khayangan. Keberadaannya pun diketahui oleh salah satu bidadari khayangan. Dengan cepat, bidadari itu melaporkan keberadaan Oheo pada sang Raja. “Tuan, aku melihat seorang pria manusia bersama anaknya di halaman khayangan. Tampaknya, pria itu adalah Oheo yang sempat mencuri selendang Putri Anawai,” ucapnya. Sang Raja terkejut, “Bagaimana bisa ia sampai ke sini? Baiklah, aku akan mengurusnya. Sampaikan pada Putri Anawai bahwa suami dan anaknya datang kemari.” Setelah itu, Raja menemui Oheo. “Wahai manusia, bagaimana kau datang kemari? Apa tujuanmu sebenarnya?” tanya sang Raja. “Mohon maaf, Baginda Raja. Nama saya Oheo, suami dari Putri Anawai kala di bumi. Tujuan kedatatangan saya adalah untuk minta maaf pada Putri Anawai. Dan putra kecil ini adalah anak kami. Ia setiap hari menangis mencari ibunya,” ucap Oheo. “Hmm, pertama-tama, perbuatanmu mencuri selendang anakku, Putri Anawai, itu salah. Kedua, kau tak seharusnya mengkhianati janji kalian. Meski begitu, aku menghargai usahamu untuk beremu dengan anakku,” ucap sang Raja dengan bijak. “Saya mengaku salah, Raja. Saya ke mari hendak meminta maaf dan mengakui segala kesalahan saya. Demi anak kami, saya rela melakukan apa pun asal Putri Anawai mau kembali ke bumi,” ucap Oheo. “Tentu tak semudah itu, Pemuda! Ada syarat yang harus kau penuhi untuk bisa membawa kembali putriku ke bumi. Untuk saat ini, aku melarangmu bertemu dengan anakku,” ucap sang Raja. “Syarat apa yang harus kupenuhi, Baginda Raja?” tanya pemuda itu, “Pertama, kamu harus mampu menumbangkan batu-batu besar di khayangan ini. Kedua, kamu harus memungut bibit pada yang tertabur di padang rumput hingga bersih tanpa tersisa sedikit pun. Terakhir, kamu harus menemukan istrimu di tempat yang sangat gelap. Kalau gagal satu saja ujian, kau akan kukembalikan ke bumi tanpa Putri Anawai,” ucap sang Raja. Menjalankan Setiap Misi Ia berhasil menjalankan misi pertama dan kedua. Hal itu karena ia mendapatkan bantuan dari para hewan di khayangan, seperti tikus dan burung. Namun, ia tak yakin dengan ujian terakhir. “Bagaimana mungkin aku bisa menemukan Putri Anawai di tempat yang gelap gulita?” ucap Oheo dalam hati. Ia merasa misi ketiganya ini tak akan bisa ia selesaikan. Ia pun sedih teringat nasib anaknya yang tumbuh tanpa seorang ibu. Dalam keadaan bingung dan panik, tiba-tiba saja ada seekor kunang-kunang mendatanginya. “Apa yang sedang kau pikirkan? Tampaknya kau sangat bingung,” tanya kunang-kunang itu. “Hai, kunang-kunang. Aku mendapatkan tiga tugas yang sangat berat dari Raja. Kedua tugas sudah kuselesaikan. Kurang satu tugas terakhir yang tampaknya tak bisa kuselesaikan,” ucap Oheo lemas. “Memangnya, apa tugas terakhirmu? Barangkali aku bisa memberimu bantuan,” ucap kunang-kunang. “Aku harus menemukan istriku di sebuah kamar yang gelap gulita. Sedangkan dalam kamar itu terdapat saudara-saudaranya. Mana bisa aku asal pilih wanita. Jika aka salah pilih, bisa-bisa Raja mengembalikanku dan anakku ke bumi tanpa Putri Anawai,” jelas Oheo. “Oh, jadi begitu rupanya. Kamu tidak perlu cemas. Aku akan membantumu,” ucap binatang kecil itu. “Bagaimana caranya kau membantuku?” tanyanya. “Lihatlah ekorku, bercahaya bukan? Nah, aku akan hinggap di setiap wanita yang ada di kamar itu, tugasmu adalah memastikan, wanita mana yang merupakan istrimu,” ujar kunang-kunang. “Wah, ide yang sangat cemerlang kunang-kunang. Terima kasih mau membantuku,” ujar Oheo. Saat malam menjelang, hati Oheo pun makin gelisah. Meski akan mendapatkan bantuan dari kunang-kunang, ia tetap khawatir tidak bisa menyelesaikan misi terakhir. “Ini adalah misi terakhir yang menentukan apakah aku akan berhasil membawa pulang Putri Anawai atau tidak. Jika gagal, sungguh aku teramat kasihan dengan anakku,” ucap Oheo merasa cemas. Menjalankan Misi Terakhir Tibalah saatnya misi terakhir tuk Oheo selesaikan. Ia bersama dengan kunang-kunang memasuki sebuah ruangan yang gelap gulita. Perlahan-lahan, kunang-kunang itu menghinggapi satu persatu wanita yang ada di ruangan itu. Setelah beberapa wanita terlewati, berhasilah Oheo menemukan istrinya. Pria itu tersenyum lebar. Ia langsung memegang tangan istrinya dan berkata, “Putri Anawai, maafkan aku. Aku berjanji tak akan membuatmu membersihkan kotoran anak kita lagi. Kumohon kembalilah. Anak kita menangis mencarimu setiap hari,” ucap Oheo. Karena berhasil menuntaskan ketiga tugas dari Raja, Oheo pun diperbolehkan membawa pulang Putri Anawai. Hanya saja, sang Putri tampak kesal dan agak keberatan. Ia sebenarnya tak ingin kembali ke bumi. Namun, karena Raja telah mengutusnya, mau tak mau Putri Anawai, kembali ke bumi dan tinggal dengan Oheo. Mereka lalu turun ke bumi menggunakan seutas tali. Sesuai dengan janjinya, Oheo selalu membersihkan kotoran anaknya. Ia juga tak lagi membentak sang istri. Untuk mempermudah merawat anak, Oheo membuat pekarangan tebu di sekitar rumahnya. Ia tiap pagi hingga sore bekerja di pekarangan. Ketika si kecil buang air besar, dengan sigap pria itu membersihkannya. Ketulusan hati dan kegigihan Oheo membuat Putri Anawai terkesima. Sang bidadari itu pun lama kelamaan mencintai suaminya. Karena telah cinta, Putri Anawai dengan sukarela membersihkan kotoran anaknya. Ia juga terkadang membantu suaminya bekerja di pekarangan. “Karena telah tinggal di bumi, aku akan hidup layaknya seorang manusia yang bekerja dan saling membantu, Suamiku,” ucapnya pada sang suami. Kini, mereka pun hidup makmur dan bahagia. Hasil perkebunan tebu milik Oheo sangatlah berlimpah. Tak jarang, Raja dan para bidadari lainnya berkunjung ke rumah Oheo dan Putri Anawai. Baca juga Legenda Putri Ular dari Bengkulu dan Ulasannya, Kisah Seorang Putri Cantik yang Berubah Menjadi Ular Unsur Intrinsik Usai membaca cerita rakyat Oheo dan Putri Anawai, kurang lengkap rasanya bila kamu tak menyimak unsur intrinsiknya. Mulai dari tema hingga pesan moralnya, berikut adalah ulasan singkatnya; 1. Tema Inti cerita atau tema cerita rakyat Oheo adalah tentang pernikahan seorang manusia biasa dengan bidadari. Sesuai kesepakatan, bidadari mau menikah dengan manusia. Tapi, manusia itu melanggar janji sehingga bidadari pun murka dan memutuskan tuk kembali ke khayangan. Namun, karena perjuangan si manusia, akhirnya bidadari itu mau kembali ke bumi lagi. 2. Tokoh dan Perwatakan Ada dua tokoh utama dalam cerita rakyat ini, yaitu Oheo dan Putri Anawai. Awalnya, Oheo digambarkan sebagai petani tebu yang tak berperesaan karena tega mengambil salah satu selendang dari para bidadari. Ia bahkan memaksa sang pemilik selendang itu untuk menikah dengannya. Mereka lalu menikah dengan beberapa peryaratan. Akan tetapi, petani tebu ini mengingkari janjinya. Meski begitu, pada akhir cerita Oheo mampu mengubah sikapnya. Ia menjadi pria sejati yang tulus dan gigih mencintai istrinya. Sementara itu, Putri Anawai digambarkan sebagai sosok bidadari yang cantik jelita. Ia mengalami masa yang sulit dan berat karena selendangnya dicuri oleh Oheo. Karena itu, sikapnya menjadi egois dan maunya menang sendiri. Pada akhirnya, ia bersikap baik setelah mendapatkan perlakuan baik dan tulus dari Oheo. Selain mereka berdua, kisah ini juga memiliki tokoh pendukung yang turut mewarnai jalan ceritanya. Ia adalah sang Raja alias ayah dari Putri Anawai. Cerita ini menggambarkan sang Raja sebagai sosok yang bijak dan baik hati. 3. Latar Legenda ini menggunakan beberapa latar tempat. Pada awal cerita, latar yang digunakan adalah hutan, sungai, dan kebun tebu. Lalu, cerita berpindah ke rumah Oheo, tempat Suku Tolaki, dan khayangan. 4. Alur Cerita Rakyat Oheo Cerita rakyat Oheo memiliki alur maju. Kisahnya bermula dari seorang pemuda bernama Oheo yang mengambil selendang bidadari bernama Putri Anawai. Oheo lalu memaksa Putri Anawai untuk menikah dengannya. Dengan syarat tak ingin membersihkan kotoran anaknya, sang bidadari cantik itu mau menikah dengan Oheo. Awalnya, pemuda itu menepati janjinya. Namun, ia melanggar janjinya. Putri Anawai pun murka dan memutuskan tuk pulang ke khayangan, meninggalkan anak dan suaminya. Tentu saja Oheo kelimpungan. Setiap hari anaknya menangis mencari ibunya. Karena itu, pria itu menemui Suku Tolaki untuk meminta bantuan agar bisa pergi ke khayangan untuk bertemu dengan istrinya. Suku Tolaki sanggup membantunya asalkan ia bisa membuat cincin-cincin dari rotan ue wai. Ia pun sanggup memenuhi persyaratan tersebut dan segera naik ke khayangan bersama sang anak. Sesampainya di sana, ia harus menjalankan tiga misi dari sang Raja untuk bisa membawa pulang Putri Anawai. Dibantu oleh beberapa hewan, ia sanggup menyelesaikan ketiga misi tersebut. Meski awalnya keberatan kembali ke bumi, akhirnya Putri Anawai pun luluh dengan kegigihan dan ketulusan hati Oheo. 5. Pesan Moral Apa sajakah pesan moral dari cerita rakyat Oheo dari Sulawesi Tenggara ini? Karena ceritanya cukup panjang, tentu saja ada beberapa pesan moral atau amanat yang bisa kamu petik. Pertama, janganlah mengambil apa yang bukan milikmu. Kamu tak akan tahu betapa berharganya benda tersebut bagi pemiliknya. Jangan seperti Oheo yang mengambil selendang milik Putri Anawai. Padahal, tanpa selendang itu, sang bidadari tak bisa kembali ke asalnya. Amanat kedua, janganlah kamu memaksakan kehendak dan keinginanmu. Ketiga, jangan mudah menyerah. Oheo tak putus asa dan terus berusaha untuk mendapatkan hati Putri Anawai. Ia menyesal telah mengingkari janjinya. Karena itu, ia berjuang mati-matian tuk bisa hidup kembali bersama dengan Putri Anawai. Amanat terakhir, hasil tidak akan pernah mengkhianati usaha. Karena telah berusaha dengan sepenuh hati, akhirnya Oheo berhasil membawa pulang Putri Anawai. Ketulusan dan kegigihan pria itu juga mampu meluluhkan perasaan Putri Anawai. Selain unsur-unsur intrinsiknya, jangan lupakan juga unsur ekstrinsik yang membangun cerita rakyat Oheo. Unsur ekstrinsik ini biasanya berhubungan dengan nilai moral, sosial, dan budaya. Baca juga Kisah tentang Si Kelingking Asal Jambi dan Ulasan Lengkapnya, Pelajaran untuk Tidak Meremehkan Penampilan Fisik Seseorang Fakta Menarik Kisah ini memiliki beberapa fakta menarik yang sayang untuk kamu lewatkan. Karena itu, yuk, simak langsung saja dua fakta menarik dari cerita rakyat Oheo berikut ini; 1. Ada Versi Cerita Lainnya Seperti cerita rakyat pada umumnya, legenda Oheo juga memiliki beragam versi cerita. Secara garis besar tetap sama, cerita rakyat Oheo mengisahkan tentang seorang pemuda yang mencuri selendang bidadari. Namun, pencurian itu dilakukannya lantaran kesal terhadap burung nuri yang kerap merusak ladang tebu miliknya. Setelah ia teliti asal mulanya, burung-burung nuri itu ternyata datang dari khayangan bersama dengan bidadari-bidadari cantik. Selain itu, perbedaan kisahnya juga terletak pada cara Oheo pergi ke khayangan. Ia tak membuat cincin dari rotan ue wei, melainkan memanjatnya. Rotan itu sangat tinggi sehingga bisa tembus sampai khayangan. Sesampainya di khayangan, kedatangannya tidak disambut dengan baik oleh Raja dan para bidadari. Mereka mengecamnya karena telah mencuri selendang milik Putri Anawai. Namun, karena merasa iba dengan anak Oheo dan Putri Anawai, sang Raja pun mengizinkan putrinya kembali ke bumi. 2. Mirip dengan Kisah Jaka Tarub dari Jawa Jika di Sulawesi Tenggara ada kisah Oheo, di Pulau Jawa populer dengan kisah Jaka Tarub. Kisah dalam kedua cerita rakyat tersebut hampir sama. Jaka Tarub juga mengambil salah satu selendang dari 7 bidadari yang sedang mandi di sebuah danau. Selendang itu ternyata milik Nawangwulan. Jaka Tarub menyembunyikan selendang itu lalu pura-pura menolong Nawangwulan. Setelah itu, mereka menikah dan tinggal bersama, kemudian memiliki momongan. Lambat laun, Nawangwulan menemukan bahwa selendangnya tersembunyi di lumbung padi. Sontak, hal tersebut membuatnya marah besar. Ia pun meninggalkan Jaka Tarub dan anaknya, kemudian kembali ke khayangan. Kadang-kadang Nawangwulan kembali ke bumi untuk menyusui anaknya. Akan tetapi, ia enggan menemui Jaka Tarub. Ia sangat marah dan tak akan pernah memaafkan pria yang telah membohonginya itu. Baca juga Legenda Asal Usul Danau Malawen dan Ulasannya, Sebuah Imbauan untuk Mendengarkan Nasihat Kedua Orang Tua Tambah Wawasan Lewat Cerita Rakyat Oheo dari Sulawesi Tenggara Ini Demikianlah artikel yang membahas tentang cerita rakyat Oheo yang berasal dari Sulawesi Tenggara. Semoga saja, membaca kisahnya bisa menambah wawasanmu tentang cerita-cerita Nusantara. Dari cerita ini, diharapkan juga kamu dapat memetik beberapa pesan moralnya. Kalau suka dengan kisahnya, bagikan artikel ini ke teman-teman, saudara, adik, atau anakmu. Teruntuk yang butuh kisah lainnya, langsung saja kepoin kanal Ruang Pena di Ada legenda Tanjung Menangis, kisah Putri Tangguk, asal-usul nama Balikpapan, dan masih banyak lagi. Selamat membaca! PenulisRinta NarizaRinta Nariza, lulusan Universitas Kristen Satya Wacana jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, tapi kurang berbakat menjadi seorang guru. Baginya, menulis bukan sekadar hobi tapi upaya untuk melawan lupa. Penikmat film horor dan drama Asia, serta suka mengaitkan sifat orang dengan zodiaknya. EditorKhonita FitriSeorang penulis dan editor lulusan Universitas Diponegoro jurusan Bahasa Inggris. Passion terbesarnya adalah mempelajari berbagai bahasa asing. Selain bahasa, ambivert yang memiliki prinsip hidup "When there is a will, there's a way" untuk menikmati "hidangan" yang disuguhkan kehidupan ini juga menyukai musik instrumental, buku, genre thriller, dan misteri.
KataLumense sendiri berasal dari kata Lume yang memiliki arti terbang. Sedangkan mense memiliki arti tinggi, oleh karenanya Lumense memiliki arti terbang tinggi. 9. Tari Dinggu. Tari Dinggu merupakan tarian tradisional dari Provinsi Sulawesi Tenggara yang mana merupakan tarian rakyat yang kaya akan makna.
Makassar - Salah satu cerita rakyat Sulawesi Tenggara yang cukup populer adalah cerita tentang asal-usul Gunung Mekongga. Cerita rakyat ini masih hidup dan dipercaya di kalangan masyarakat secara Mekongga adalah sebuah gunung tertinggi yang ada di Provinsi Sulawesi Tenggara. Bahkan gunung ini pun termasuk ke dalam 7 gunung tertinggi yang ada di Pulau yang terletak di Kabupaten Kotala ini kerap menjadi incaran para pendaki dari berbagai daerah. Puncak tertingginya bernama puncak Masero-sero dengan ketinggian mencapai 2,620 mdpl. Di balik kokohnya Gunung Mekongga ini, terdapat cerita rakyat yang dipercaya sebagai asal-muasal tempat tersebut. Yakni legenda tentang seekor burung elang raksasa yang bernama seperti apa cerita rakyat tentang asal-usul Gunung Mekongga yang merupakan salah satu cerita rakyat dari Sulawesi Tenggara? Berikut kisah selengkapnya dirangkum detikSulsel dari laman Perpustakaan Digital Budaya pada jaman dahulu di Negeri Sorume sekarang Kolaka, Sulawesi Tenggara hiduplah seekor burung garuda raksasa bernama Burung Kongga. Burung tersebut selalu membuat kekacauan di desa ia akan terbang dan memangsa hewan-hewan ternak milik penduduk desa. Bahkan jika ia tidak menemukan hewan, ia akan menculik seorang manusia dan penduduk merasa resah dan ketakutan dibuatnya. Semakin hari ternak-ternak milik warga perlahan semakin habis itulah penduduk Sorume pun mencari cara untuk mengatasi burung Kongga di sebuah negeri seberang bernama negeri Solumba sekarang Balandete, terdengarlah kabar bahwa ada seorang sakti mandraguna. Ia bernama adalah seorang tokoh yang datang dari tanah Luwu. Ia adalah kerabat dekat Sawerigading, yang merupakan tokoh penting nenek moyang orang dikutip dari laman resmi Kabupaten Kolaka, Sawerigading hidup sekitar abad XIV. Ia adalah cucu Batara Guru yang diutus oleh para Dewata untuk turun ke dunia dan memerintah di tanah Luwu kemudian menyebar ke beberapa wilayah, termasuk Sulawesi adalah keluarga dekat Sawerigading yang kemudian berangkat ke Tanah Alau Negeri di Timur. Tana Alau adalah sebutan orang Luwu untuk wilayah Sulawesi Tenggara karena mereka melihat matahari terbit di pagi hari ke arah di Tanah Alau, Ia pun menetap dan mendirikan kerajaan di Negeri Solumba. Di mana wilayah tersebut didiami oleh masyarakat yang menyebut dirinya 'Orang Tolaki' yang berarti orang-orang para penduduk di Sorume pun lantas mengirim utusan ke Negeri Solumba untuk menemui Larumbalangi. Serta bermaksud meminta kesediaan Larumbalangi untuk membantu mengusir burung elang Raksasa di negeri Solumba, para utusan itupun kemudian menceritakan mengenai peristiwa yang menimpa negeri mereka pada Larumbalangi. Ia pun memberikan saran pada penduduk Sorume untuk menggunakan bambu runcing untuk melawan si burung Kongga raksasa."Untuk mengatasi garuda raksasa, kalian harus menggunakan strategi yang tepat. Kumpulkanlah oleh kalian bambu tua kemudian buat ujungnya menjadi runcing. Olesi juga ujungnya dengan racun. Carilah seorang pemberani di negeri kalian untuk melawan si garuda raksasa. Pagari ia dengan bambu runcing. Jadi apabila burung Kongga menyerang, ia akan tertusuk oleh bambu beracun tersebut," kata utusan pun berterima kasih atas saran tersebut. Bergegaslah mereka pulang ke Negeri Sorume untuk melaksakan wasiat bambu runcing di Sorume, para utusan menceritakan saran Larumbalangi itu kepada para para tetua ada pun segera mengadakan sayembara guna mencari laki-laki pemberani untuk melawan burung raksasa tersebut menjanjikan bahwa siapapun yang bisa melawan si Burung Kongga Raksasa, jika ia adalah seorang rakyat jelata maka akan diangkat menjadi Bangsawan. Dan jika ia dari kalangan bangsawan, maka akan diangkat menjadi pemimpin hari Sayembara tersebut diadakan, ratusan pendekar dari berbagai wilayah untuk mengikutinya. Setiap orang menunjukkan kemampuannya di depan para tetua dan sesepuh negeri setelah melalui persaingan dan pemilihan yang ketat, terpilihlah seorang pemenang yang bernama Tasahea. Ia adalah seorang rakyat biasa namun pemberani dari negeri para sesepuh kemudian meminta penduduk untuk membuat bambu runcing yang diujungnya diolesi racun. Selanjutnya bambu-bambu runcing itu pun ditancapkan di Padang kemudian dimasukkan ke dalam lingkaran yang dikelilingi bambu beracun. Ia kemudian ditinggalkan sendirian untuk memancing si burung Garuda Raksasa berjam-jam Tasahea berdiri di dalam bambu runcing, namun burung garuda raksasa belum juga kelihatan. Hingga pada saat siang hari, tiba-tiba saja cuaca yang tadinya cerah berubah menjadi mendung dan gelap itulah Tasahea melihat burung garuda raksasa terbang mendekatinya. Dengan suaranya yang menggelegar, burung raksasa tersebut siap menyerang dan memangsa belum sempat menyentuhnya, sayap si garuda tertusuk oleh bambu runcing beracun. Burung garuda raksasa pun mengerang ingin menyia-nyiakan kesempatan, Tasahea pun segera mengambil sebilah bambu runcing beracun yang ada di sampingnya. Dan lantas melemparkannya dan mengenai bagian dada si burung garuda semakin meronta-ronta kesakitan. Ia pun memutuskan untuk terbang menjauh dari tempat itu. Di kepakkan sayapnya lagi untuk melepaskan diri dari bambu runcing beracun segera terbang tinggi namun tak berapa lama, tubuhnya pun terjatuh tepat di atas sebuah gunung. Tak lama berselang, sang Garuda akhirnya mati terkena efek racun bambu negeri Sorume bersorak-sorak mengelu-elukan Tasahea sebagai kegembiraan rakyat tidak berlangsung lama. Bangkai burung garuda raksasa ternyata menyebarkan wabah penyakit. Banyak penduduk meninggal setelah muntah-muntah karena wabah penyakit. Begitu pula tanaman penduduk banyak mati diserang hal ini para tetua adat kembali mengirim utusan untuk menemui Larumbalangi. Sesampainya di negeri Solumba, para utusan menyampaikan permasalahan wabah yang berasal dari bangkai burung garuda Kongga kepada hal ini, Larumbalangi segera berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar menurunkan hujan deras agar bangkai garuda raksasa beserta ulat-ulat terbawa mengabulkan doa Larumbalangi. Negeri Sorume dilanda hujan sangat deras selama tujuh hari tujuh malam. Akibatnya Negeri Sorume mengalami banjir hebat. Banjir hebat tersebut membawa bangkai garuda raksasa beserta ulat-ulat hanyut terbawa hujan reda & banjir surut, wabah penyakit beserta ulat yang melanda negeri Sorume akhirnya hilang. Rakyat negeri Sorume bergembira, akhirnya kedamaian bisa hadir di negeri menghargai jasa Tasahea & Larumbalangi, para tetua ada sepakat mengangkat Tasahea menjadi bangsawan. Sedangkan Larumbalangi diangkat sebagai pemimpin negeri tempat jatuhnya burung garuda raksasa tersebut pun diberi nama Gunung Mekongga. Simak Video "Dataran yang Terangkat, Kisah Puncak Khayangan Wakatobi " [GambasVideo 20detik] edr/alk
CeritaRakyat Dari Belanda. Cerita Rakyat Dari Jepang. Cerita Rakyat Dari Italia. Cerita Rakyat Dari Natuna. Cerita Rakyat Dari Swedia. Cerita Rakyat Dari Banyuwangi. Cerita Rakyat Dari Riau. Cerita Rakyat Dari Prancis 2. Dewa Berkepala Gajah.
Langsung ke konten Cerita Rakyat Nusantara Kumpulan Dongeng Anak Anak Sebelum Tidur Beranda Daftar Isi Hubungi Kami Tentang Kami Dongeng Dunia Fabel Cerita Anak Legenda Cerita Rakyat Nusantara Cerita Rakyat dari Sulawesi Tenggara Ksatria Dan Burung Garuda 18 Maret 2016 dongeng cerita rakyat Apakah kalian tahu burung Garuda yang menjadi lambang negara kita? Konon burung Garuda sangat besar dan kuat. Cerita Rakyat dari… Lanjutkan Membaca → Cerita Rakyat Sulawesi Tenggara Kisah La Sirimbone 17 Juli 2015 dongeng cerita rakyat Tinggalkan komentar Kebaikan hati La Sirimbone pada Cerita Rakyat Sulawesi Tenggara membawa dia kepada keberuntungan. Orang yang baik hati akan disayangi oleh… Lanjutkan Membaca → Kebijakan Privasi Hak cipta © 2023 Cerita Rakyat Nusantara Kumpulan Dongeng Anak Anak Sebelum Tidur — Tema WordPress Ascension oleh GoDaddy
1NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM CERITA RAKYAT SULAWESI TENGGARA KARYA LA ODE SIDU OLEH LA ODE GUSAL Abstrak Permasalahan dalam penelitian ini adalah Ni Author: Yuliani Santoso 80 downloads 404 Views 203KB Size
Blog sebagian besar berisi kumpulan dongeng cerita rakyat yang berasal dari nusantara. Namun demikian blog ini juga berisi cerita rakyat dunia dan cerita tentang hewan yang memiliki pesan moral yang baik untuk diceritakan kepada anak-anak. Dua cerita rakyat yang kami posting kali ini berasal dari Pulau Sulawesi. Dijamin setelah menceritakan dongeng ini kepada si kecil, imajinasi mereka akan semakin berkembang. Dua cerita rakyat ini sangat cocok dijadikan dongeng sebelum tidur anak. Kumpulan Dongeng Cerita Rakyat dari Sulawesi Tenggara Indara Pitaraa dan Siraapare Tersebutlah cerita dua anak kembar pada masa lampau. Keduanya anak lelaki yang ajaib, karena ketika lahir keduanya telah menggenggam keris di tangan kanan masing-masing. Anak kembar yang pertama bernama Indara Pitaraa dan yang kedua Siraapare namanya. Indara Pitaraa dan Siraapare tumbuh menjadi anak-anak yang nakal. Keduanya kerap menggunakan keris masing-masing untuk alat kenakalan mereka. Keduanya kerap merusak tanaman dan juga membunuh hewan peliharaan penduduk. Penduduk pun menjadi resah karena perbuatan Indara Pitaraa dan Siraapare. Kedua orang tua anak kembar itu juga telah dibuat pusing karena perbuatan Indara Pitaraa dan Siraapare itu. Kedua orangtua Indara Pitaraa dan Siraapare merasa tak sanggup lagi menghentikan ulah kenakalan dua anak kembar itu. Ibu dua anak kembar itu akhirnya menyuruh kedua anak kembarnya itu untuk pergi merantau. Kumpulan Dongeng Cerita Rakyat dari Sulawesi Tenggara Indara Pitaraa dan Siraapare Indara Pitaraa dan Siraapare sangat senang disuruh pergi merantau. Sebelum berangkat, ibu dua anak kembar itu membekali dengan tujuh buah ketupat, tujuh butir telur, tujuh ruas batang tebu, dan dua belah kelapa tua. Keduanya juga dibekali dengan tempurung kelapa yang digunakan untuk penutup kepala. Dua anak kembar itu pun rnemulai perjalanan merantau mereka. Keduanya menerobos hutan belantara, menyeberangi sungai, menuruni lembah, dan juga mendaki bukit serta gunung. Setiap kali melewati satu gunung, Siraapare meminta waktu sejenak untuk beristirahat. Indara Pitaraa menuruti keinginan adik kembarnya itu. Indara Pitaraa memangku Siraapare sampai tertidur. Setelah Siraapare terbangun, masing-masing dari keduanya lantas memakan satu buah ketupat, satu butir telur, dan seruas batang tebu. Begitu yang mereka lakukan hingga melewati gunung keenam. Ketika keduanya tiba di puncak gunung ketujuh, Indara Pitaraa yang belum pernah beristirahat merasa sangat lelah. Ia meminta waktu untuk beristrahat. Adik kembarnya lantas memangkunya hingga ia tertidur. Ketika Siraapare tengah memangku Indara Pitaraa, mendadak datang angin topan yang besar. Siraapare lantas membangunkan kakak kembarnya. Indara Pitaraa menyarankan agar mereka menyimpulkan tali pinggang masing- masing agar keduanya tidak terpisah jika diterjang angin topan itu. Angin topan dahsyat itu menerjang keduanya Jan menerbangkan dua saudara kembar itu ke angkasa. Meski Indara Pitaraa dan Siraapare telah erat-erat menyimpulkan tali pinggang masing- masing, namun keduanya terpisahkan setelah terkena terjangan angin topan. Angin topan pun terus menerbangkan dan menjauhkan dua saudara kembar itu. Indara Pitaraa akhirnya jatuh di sebuah wilayah yang tengah diamuk oleh burung garuda. Siraapare jatuh di sebuah wilayah yang tengah dilanda peperangan. Seperti halnya warga lainnya, Siraapare segera nelibatkan diri dalam peperangan. Bersenjatakan keris pusakanya. Siraapare berperang dengan gagah berani tempurung kelapa yang diberikan ibunya sangat berguna dalam berbagai peperangan yang diikutinya itu. Aneka senjata tidak mampu melukai kepalanya karena terhalang tempurung kelapa yang dikenakan Siraapare. Dengan kegagahan, kepiawaian, dan keberaniannya, Siraapare lantas dipercaya menjadi pemimpin pasukan. Berkat pimpinan Siraapare, pasukan itu menuai kemenangan. Siraapare akhirnya dipilih menjadi raja wilayah tersebut. Indara Pitaraa jatuh di sebuah wilayah yang sepi. Semua penduduk bersembunyi karena takut dimangsa burung garuda ganas. Indara Pitaraa melihat sebuah rumah yang indah. Ketika ia memasuki rumah itu ia melihat sebuah gendang besar. Indara Pitaraa menepuk gendang besar itu dan terdengar sebuah suara dari dalam gendang besar, “Jangan pukul gendang ini. Burung garuda ganas itu akan datang dan memangsamu!” Indara Pitaraa terkejut. Dengan kerisnya, disobeknya kulit gendang besar itu. Ia melihat seorang gadis berada di dalam gendang besar dengan wajah pias ketakutan. Si gadis lantas menceritakan adanya burung garuda ganas pemangsa manusia. Segenap warga dibuat ketakutan karenanya. “Jangan engkau takut,” ujar Indara Pitaraa. “Aku akan menghadapi burung garuda ganas itu” Si gadis kembali menjelaskan, burung garuda itu akan datang jika cuaca tampak mendung. Burung garuda ganas itu akan hinggap di atas dahan pohon mangga macan. Indara Pitaraa menunggu kedatangan burung garuda ganas itu ketika cuaca terlihat mendung. Seketika melihat adanya orang, burung garuda itu pun lantas meluncur untuk menyambar. Namun, sebelum burung garuda itu menyambarnya, Indara Pitaraa telah melompat dan bertengger di dahan pohon mangga macan. Burung garuda itu kemudian meluncur menuju dahan pohon mangga macan, Indara Pitaraa telah melompat ke atas tanah. Begitu seterusnya yang terjadi hingga burung garuda ganas itu akhirnya kelelahan. Ketika itulah Indara Pitaraa menyerang dengan menggunakan kerisnya. Burung garuda ganas itu pun mati terkena keris pusaka Indara Pitaraa. Negeri itu pun kembali aman dan damai. Segenap warga merasa lega karena burung garuda ganas yang mereka takuti telah mati. Mereka mengelu-elukan Indara Pitaraa. Sebagai balas terima kasih, mereka menikahkan Indara Pitaraa dengan si gadis yang bersembunyi di dalam gendang besar yang ternyata adalah putri raja. Indara Pitaraa melanjutkan perjalanannya. Tibalah ia di sebuah negeri yang telah ditaklukkan oleh seekor ular besar. Ia tiba di sebuah rumah besar. Dilihatnya orang-orang di dalam rumah itu tengah mendandani seorang gadis berwajah cantik. Sangat mengherankan, orang-orang itu mendadani si gadis seraya menangis. “Apa yang terjadi?” tanya Indara Pitaraa. Orang-orang pun menjelaskan jika mereka hendak mempersembahkan si gadis kepada ular besar yang berdiam di sebuah gua. Jika mereka tidak mempersembahkan si gadis, ular besar itu akan datang ke negeri itu dan mengamuk. “Ular besar itu akan memangsa semua warga negeri ini jika tidak diberi persembahan,” kata seorang warga. “Janganlah kalian takut,” ujar Indara Pitaraa. “Biarkan ular besar itu datang ke sini. Aku akan menghadapinya.” Tidak berapa lama kemudian ular besar itu benar-benar datang. Ia tampak sangat marah karena terlambat diberikan persembahan. Gadis yang dijanjikan warga untuk persembahan kepadanya tidak juga kunjung tiba. Ia mengancam akan memangsa seluruh warga. Ular besar itu langsung menuju rumah si gadis dan bertemu dengan Indara Pitaraa yang terlihat siap melawannya. Ular besar itu langsung menyerang Indara Pitaraa. Ia memagut dan menelan Indara Pitaraa. Sangat mengherankan, Indara Pitaraa dapat keluar dari tubuh ular besar itu tanpa terluka sedikit pun juga. Kembali ular besar itu memagut dan menelan Indara Pitaraa, namun kembali pula Indara Pitaraa dapat keluar dari tubuh ular besar itu dengan selamat. Berulang-ulang hal itu terjadi hingga ular besar itu akhirnya kelelahan. Indara Pitaraa akhirnya menyerang ular besar itu dengan keris pusakanya. Serangannya mematikan hingga akhirnya ular besar itu pun mati. Tubuh ular besar itu terpotong-potong, daging tubuhnya terhambur hingga memenuhi wilayah yang luas. Segenap warga negeri itu bergembira mendapati ular besar itu telah mati. Mereka pun mengangkat Indara Pitaraa sebagai raja mereka. Indara Pitaraa memerintah dengan adil dan bijaksana hingga segenap rakyat yang dipimpinnya bertambah makmur dan sejahtera. Waktu terus berlalu. Siraapare yang tetap bertakhta sebagai raja pada suatu hari mengadakan perjalanan. Ia tiba di negeri yang dipimpin Indara Pitaraa. Pertemuan antara dua saudara kembar itu pun terjadi. Keduanya segera terlibat dalam pembicaraan penuh kerinduan. Keduanya juga sepakat untuk pulang ke kampung halaman mereka guna menengok kedua orangtua mereka. Tak berapa lama kemudian Indara Pitaraa dan Siraapare berangkat menuju kampung halaman mereka. Masing-masing membawa istri. Syandan, sepeninggal dua anak kembarnya dahulu, kedua orangtua Indara Pitaraa dan Siraapare amat berduka. Mereka terus menangis dengan menelungkupkan wajah pada bantal kapuk. Bertahun-tahun mereka menangis, hingga biji-biji kapuk yang terdapat di dalam bantal pun tumbuh menjadi tanaman kapuk karena tersirami airmata mereka. Ketika mendapati dua anak kembar mereka telah kembali, mereka segera mengangkat kepala mereka dari bantal kapuk. Tak terkirakan gembira dan bahagia hati mereka mendapati kedua anak mereka telah kembali dan keduanya telah pula menjadi raja. Bertambah- tambah kegembiraan mereka mendapati dua anak kembar mereka kembali bersama istri-istri mereka. Sebagai wujud kegembiraan hati keduanya, kedua orangtua Indara Pitaraa dan Siraapare itu mengadakan pesta yang dilangsungkan selama tujuh hari tujuh malam. Pesan Moral dari Kumpulan Dongeng Cerita Rakyat dari Sulawesi Tenggara Indara Pitaraa dan Siraapare adalah hubungan antar saudara hendaklah senantiasa terus diperkuat. kebersamaan di antara saudara akan dapat menjadi kekuatan yang ampuh untuk menanggulangi masalah atau sesuatu yang berat. Kumpulan Dongeng Cerita Rakyat dari Sulawesi Tenggara La Moelu Tersebutlah seorang anak lelaki bernama La Moelu. Ia hidup bersama ayahnya yang telah tua. Ibunya telah lama meninggal dunia, ketika La Moelu masih bayi. Karena ayahnya telah tua, La Moelu-Iah yang mencari nafkah. Ia mencari ikan untuk mencukupi kebutuhan hidup dirinya dan juga ayahnya. Ikan-ikan hasil tangkapannya itu dijualnya di pasar. Pada suatu hari La Moelu pergi memancing. Telah seharian ia memancing, tidak seekor ikan pun yang berhasil dipancingnya. Waktu senja pun tiba. La Moelu yang telah berniat pulang menjadi gembira karena mata kailnya ditarik ikan. La Moelu menarik pancingnya. Seekor ikan mungil berada di ujung kailnya. La Moelu keheranan melihat ikan kecil itu. Seumur hidupnya ia belum pernah melihat ikan kecil yang terlihat cantik itu. Maka, dibawanya ikan kecil itu untuk dipeliharanya di rumah. Ikan kecil itu dipelihara La Moelu di dalam daun yang dibentuk menyerupai mangkok. Ayah La Moelu juga senang dengan ikan kecil yang cantik tersebut. Ia menyarankan agar La Moelu memelihara ikan kecil tersebut di dalam belanga. La Moelu menuruti saran ayahnya. Dimasukkannya ikan kecil itu di dalam belanga dengan diberinya air dan juga makanan yang cukup. Kumpulan Dongeng Cerita Rakyat dari Sulawesi Tenggara La Moelu Keesokan harinya La Moelu terperanjat ketika mendapati ikan yang dipeliharanya di dalam belanga itu telah tumbuh membesar hingga sebesar belanga. Tak terkirakan gembiranya La Moelu. “Benar-benar ikan ajaib,” katanya, “tumbuhnya sangat cepat.” Ayah La Moelu yang turut gembira lantas menyarankan agar ikan tersebut dipelihara di dalam lesung. La Moelu menuruti saran ayahnya. Dimasukkannya ikan peliharaannya itu di dalam lesung yang telah diberinya cukup air. Tak lupa, diberinya pula makanan. Keajaiban kembali terjadi. Keesokan harinya ikan peliharaan La Moelu tersebuttelah bertambah besar hingga sebesar lesung. “Bagaimana ini, Ayah?” tanya La Moelu. “Harus kita pelihara di mana ikan ini?” Karena tidak ada lagi tempat besar yang dapat menampung ikan itu, Ayah La Moelu menyarankan agar melepaskan ikan itu ke laut. La Moelu lantas membawa ikan itu ke laut. Ikan itu tampak gembira dilepaskan di laut. Ia berenang mengitari kaki La Moelu seolah-olah mengucapkan terima kasih. La Moelu sangat senang mendapati ikan itu sangat jinak kepadanya. Katanya kemudian, “Wahai ikan, kuberi nama untukmu Jinnande Teremombonga. Jika namamu kupanggil, hendaklah engkau muncul. Aku akan memberimu makanan jika engkau muncul ke permukaan.” Ikan yang telah diberi nama Jinnande Teremombonga itu mengangguk-anggukkan kepala. Ia lantas berenang dengan gembira ke laut lepas. Sejak saat itu La Moelu setiap hari ke laut untuk memberi makan Jinnande Teremombonga. Setibanya di pinggir laut, La Moelu akan memanggil nama Jinnande Teremombonga. Ikan itu akan muncul ke permukaan laut dan menghampiri La Moelu dengan gembira. Ia akan menyantap makanan pemberian La Moelu. Ia bahkan kerap bermain-main dengan La Moelu yang sangat menyayanginya. Pada suatu hari tujuh pemuda mendapati La Moelu yang tengah bercanda dengan Jinnande Teremombonga. Semula tujuh pemuda itu kagum dengan persahabatan erat antara La Moelu dan ikan besar itu. Namun, kekaguman mereka berubah menjadi niat jahat untuk menangkap Jinnande Teremombonga! Mengetahui cara La Moelu memanggil ikan besar itu, tujuh pemuda itu pun menirunya. Mereka memanggil Jinnande Teremombonga. Seketika ikan besar itu muncul ke permukaan laut dan menghampiri mereka, ketujuh pemuda itu lantas menjerat Jinnande Teremombonga dengan jala besar yang sangat kuat. Meski Jinnande Teremombonga berusaha keras untuk melepaskan diri, namun jala itu sangat kuat hingga usaha ikan besar itu menjadi sia-sia. Tujuh pemuda itu menyeret Jinnande Teremombonga ke pantai dan menyembelih serta memotong-motongnya menjadi tujuh bagian. Masing-masing pemuda mendapat satu bagian. Mereka lantas membawa daging ikan itu ke rumah masing-masing dengan hati riang. Menurut mereka, bagian daging ikan untuknya itu tidak akan habis dimakannya selama seminggu. Pada sore harinya La Moelu datang ke pantai dan memanggil Jinnande Teremombonga. Namun, ikan itu tidak muncul seperti biasanya. La Moelu terus memanggil, namun ikan yang sangat disayanginya tidak juga menampakkan diri. Keheranan La Moelu akhirnya tersingkap setelah beberapa orang menceritakan kepadanya perihal telah dibunuhnya Jinnande Teremombonga oleh tujuh pemuda tadi pagi. La Moelu sangat sedih mendengar ikan kesayangannya itu menemui kematian secara mengenaskan. Ia pun menuju rumah salah seorang pemuda penangkap ikan kesayangannya. Bertambah tambah sedih hatinya ketika mendapati pemuda itu beserta keluarganya tengah memakan daging Jinnande Teremombonga dengan amat Iahapnya. Tulang-tulang Jinnande Teremombonga mereka buang hingga berserakan di sekitar rumah itu. La Moelu mengumpulkan tulang-tulang Jinnande Teremombonga dan membawanya pulang. Ketika tiba di rumahnya, La Moelu lantas menguburkan tulang belulang itu di halaman belakang rumahnya. Selesai menguburkan, La Moelu berujar, “Beristirahatlah dengan tenang wahai Jinnande Teremombonga yang sangat kusayangi. Beristirahatlah dengan tenang wahai sahabatku.” Keesokan harinya La Moelu terperangah ketika mendapati sebuah keajaiban di halaman belakang rumahnya. Ia melihat sebatang pohon tumbuh di tempat ia menanam tulang belulang Jinnande Teremombonga. Pohon yang luar biasa ajaib. Pohon itu berbatang emas, berdaun perak, dan berbuah permata! Banyak pula buahnya La Moelu memetik beberapa buah dan menjualnya. Ia terbelalak mendapati buah-buah itu dihargai sangat tinggi oleh pembelinya. Hasil penjualan buah-buah itu sangat mencukupi kebutuhan dirinya danjuga ayahnya. Bahkan, untuk membangun rumah yang indah pun masih juga cukup. La Moelu yang baik hati itu pun akhirnya hidup berbahagia. Ia dikenal sebagai sosok yang kaya raya di kampungnya. Namun demikian ia tidak menyombongkan kekayaannya. Ia bahkan kerap berbagi kepada orang-orang yang datang dan meminta bantuan kepadanya. Tangannya senantiasa terulur untuk memberikan bantuan kepada yang membutuhkannya. Pesan Moral dari Kumpulan Dongeng Cerita Rakyat dari Sulawesi Tenggara La Moelu adalah kita hendaklah menyayangi hewan karena hewan itu sesungguhnya ciptaan tuhan seperti halnya kita. hewan yang kita sayangi akan membalas dengan kasih sayangnya pula. Jika anda merasa artikel yang kami posting bermanfaat kami mohon bantuan untuk membagikan artikel ini di facebook, google plus, twitter atau media sosail yang lain. Dengan membantu membagikan cerita rakyat yang kami posting, sama dengan membantu anak Indonesia untuk mendapatkan dongeng seperti yang kita dengar ketika kita masih kecil. Terima kasih kami ucapkan untuk rekan-rekan yang sudah membagikan blog kami di media sosial. Salam dari admin
Cerita rakyat asal-usul Kota Pandeglang yang terletak di Provinsi Banten ini memang cukup panjang, tetapi seru untuk diikuti, kan? Nah selanjutnya, kamu bisa menyimak penjelasan singkat mengenai unsur-unsur intrinsiknya. 1. Tema. Inti cerita atau tema dari legenda asal-usul Kota Pandeglang ini adalah keserakahan dan iri hati akan menghancurkan
Kamu suka membaca cerita rakyat Nusantara? Dari Sulawesi Selatan, ada kisah yang cukup inspiratif dan menarik tuk dibaca, yakni cerita rakyat La Moelu. Bila ingin membacanya, langsung saja baca artikel berikut ini!Membaca adalah kegiatan positif dan bermanfaat yang bisa kamu lakukan di waktu luang. Untuk lebih mengenal budaya Nusantara, kamu bisa perbanyak membaca legenda atau cerita rakyat dari berbagai daerah di Indonesia. Di Sulawesi Tenggara, ada cerita rakyat La Moelu yang kisahnya cukup menarik dan Moelu adalah seorang anak-anak laki yang tinggal bersama ayahnya. Ibunya sudah meninggal sejak ia masih bayi. Sedihnya, ayahnya telah berusia senja dan tak bisa lagi mencari bagaimanakah anak yatim tersebut bertahan hidup? Penasaran dengan kisah selengkapnya? Tak perlu berlama-lama lagi, yuk, langsung saja simak cerita selengkapnya di artikel ini! Tak hanya ceritanya saja, ulasan seputar unsur intrinsik, pesan moral, dan fakta menariknya juga telah kami paparkan!Cerita Rakyat La Moelu Pada zaman dahulu, di suatu desa kecil di Sulawesi Tenggara, hiduplah seorang anak laki-laki bernama La Moelu. Saat ia masih bayi, ibunya meninggal sehingga dirinya hanya tinggal dengan ayahnya saja. Sayangnya, sang ayah telah tua renta dan tak bisa mencari nafkah. Jangankan bekerja, untuk berjalan saja ayahnya kesusahan. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, La Moelu yang tiap hari harus bekerja keras. Setiap pagi, ia pergi ke hutan tuk mencari kayu bakar yang kan dijualnya ke pasar. Hasil penjualan biasanya ia gunakan untuk membeli beras. Setelah itu, ia pergi ke sungai tuk menangkap ikan buat lauk makan. Pada suatu hari, anak pekerja keras ini telah menyiapkan banyak cacing tanah yang kan ia gunakan sebagai umpan. Setibanya di tepi sungai, ia melihat segerombolan ikan muncul di permukaan sungai. “Wah, banyak sekali ikannya. Tampaknya, hari ini aku bisa mendapatkan banyak ikan. Aku sudah tak sabar ingin segera memancingnya,” ucapnya antusias. Ia bergegas menyiapkan peralatannya memancing. Di sebuah batu dekat tepi pantai, ia duduk dan menjulurkan pancingnya. Ia menunggu ikan memakan umpannya sembari bersiul-siul. Sayangnya, sudah hampir satu jam ia menunggu, tak ada seekor pun yang terperangkap umpannya. “Lah, ke mana perginya ikan-ikan tadi? Jelas-jelas tadi aku melihat mereka bergerombol. Kenapa sekarang tak ada satu pun yang terperangkap pada pancingku,” gumamnya. Hari pun semakin siang. Tapi, tak satu pun ikan berhasil ia tangkap. Sempat ingin menyerah, La Moelu lalu teringat akan ayahnya di rumah. “Kalau menyerah, nanti aku dan ayah makan apa?” ucapnya dalam hati. Baca juga Legenda Asal Usul Burung Cendrawasih dan Ulasannya, Kisah Si Burung Surga yang Mengandung Amanat Bermakna Menangkap Ikan Mungil Alhasil, ia pun tetap memancing dan bersabar menunggu ikan. Beberapa saat kemudian, pancingnya bergetar. Tampaknya, ada ikan yang memakan umpannya. Dengan penuh hati-hati, ia menarik kailnya. Namun, yang berhasil ia tangkap adalah seekor ikan kecil. Meski begitu, La Moelu tetap senang karena ikannya sangat indah. Warnanya oranye dengan ekor meliuk-liuk. “Aku tak akan memakannya. Akan kujadikan ikan ini sebagai peliharaan,” gumamnya dalam hati. Lalu, ia lanjut memancing dan berhasil mendapatkan ikan besar. Karena matahari sudah semakin panas, ia pun pulan dengan hati gembari. Setibanya di rumah, ia memamerkan hasil tangkapannya ke sang ayah. “Ayah, lihatlah! Aku mendapatkan ikan kecil yang sangat bagus,” teriaknya bahagia. “Wah, warnanya sungguh cantik, anakku. Ikan jenis apa ini?” ucap sang ayah terkagum. “Aku juga tak tahu, Yah. Apakah boleh aku memeliharanya, Yah?” tanya sang anak. “Tentu saja boleh. Kalau pun dimakan, ikan ini tak akan membuat kita kenyang,” ujar sang ayah. La Moelu lalu memindahkan ikan tangkapannya itu ke dalam baskom yang berisi air. Ikan itu ia beri makan agar tak kelaparan. Keesekan harinya, ia terkejut karena ikannya telah sebesar baskom. “Ayah, lihatlah! Ikan ini kenapa sudah sebesar ini? Kemarin bukankah sangat kecil? Bagaiamana bisa ia tumbuh begitu cepatnya?” ujarnya kebingungan. Sang ayah pun terkejut. Ia pun tak menyangka bila ikan itu bisa membesar dengan cepatnya. “Segera pindahkan ikannya ke dalam lesung, Nak. Kasihan jika ia merasa kesempitan,” pinta sang ayah. Dengan cepat, La Moelu langsung mengisi lesung dengan air. Ia lalu memindahkan ikannya ke dalam lesung. Setelah memberikan sedikit makanan, ia berkata pada ikan itu, “Kenapa kamu cepat tumbuh, Kan? Apakah kamu ikan ajaib?” Semakin Membesar Keajaiban itu kembali terjadi di keesokan harinya. Ikan yang semula sebesar baskom, kini sebesar lesung. Sontak, hal itu membuat La Moelu dan ayahnya terkejut. Mereka lalu memindahkannya ke tempat yang lebih besar, yakni di dalam guci. Pada hari berikutnya, ikan berwarna oranye itu kembali menghebohkan si anak dan ayahnya. Tubuhnya kembali membesar seukuran dengan wadahnya. Kali ini, La Moelu bingung memindahkannya di mana. Setelah mencari tempat, akhirnya ia menemukan drum besar. Ikan itu lalu ia pindahkan ke dalam drum tersebut. Mereka beranggapan bila hewan tersebut tak akan membesar seukuran drum. Namun, perkiraaan mereka salah. Saat esok tiba, betapa terkejutnya mereka melihat ikan itu sudah memenuhi drum tersebut. Karena khawatir ikan itu terus membesar, pada akhirnya La Moelu membawanya ke laut. Sebelum melepasnya ke laut, ia berpesan pada sang ikan. “Hai, ikan ajaib! Aku memberimu nama Jinnande Teremombonga. Jika kelak aku memanggilmu, datanglah ke tepi laut. Aku akan memberimu makan. Aku tak dapat lagi memeliharamu di rumah, karena tubuhmu terus-terusan membesar,” ujar anak baik itu. Ikan itu pun mengibas-ngibaskan ekornya. Kemudian, La Moelu melepaskannya ke lautan. Ikan itu tampak senang karena dapat bergerak dengan bebas di samudera luas. Sesuai janji, anak kecil itu keesokan harinya datang ke tepi laut. Ia lalu berteriak memanggil nama ikannya, “Jinnande Teremombonga!” Tak berapa lama, Jinnande Teremombonga datang menghampirinya. Ia lalu memberikan ikan itu makanan sembari mengajaknya bicara. “Tubuhmu makin besar saja. Kau tampak makin indah,” ujarnya. Jinnande Teremombonga memberi respon dengan cara mengibas-ngibaskan ekor. Jinnande Teremombonga Terancam Bahaya Pada suatu pagi yang cerah, seperti biasa La Moelu datang ke tepi laut untuk memberi makan Jinnande Teremombonga. Ternyata, ada tiga pemuda yang mengikuti La Moelu. Ketiga pemuda itu rupanya tetangga La Moelu yang penasaran ke mana perginya anak laki-laki ini tiap pagi. Betapa terkejutnya mereka mendapati anak itu sedang memberi makan pada ikan besar. Muncullah niat jahat dalam benak mereka. “Kawan-kawan, bagaimana kalau kita menangkap ikan besar itu? Pasti bakal laku mahal jika kita menjualnya di pasar,” ujar salah satu pemuda paling tua. “Tunggu dulu, jangan gegabah! Kita tunggu dulu anak kecil itu pulang. Barulah kita menangkap ikan raksasa,” ujar pemuda lain. Setelah La Moelu pergi, ketiga pemuda itu mendekati tepi laut. Akan tetapi, mereka tak tahu bagaimana caranya mendapatkan ikan besar itu. “Tampaknya, ikan itu tak akan mendekati kita. Tapi, bagaimana cara membuatnya ke tepi laut?” ujar salah satu pemuda. “Hmm, tampaknya kita harus kembali lagi besok pagi dan mengamati apa yang anak kecil itu lakukan untuk memanggil ikannya,” ucap pemuda paling tua. Akhirnya, mereka pun pulang dengan tangan kosong. Keesokan harinya, mereka kembali mendekati La Moelu. Kali ini, mereka memperhatikan dengan seksama gerak-gerik La Moelu. Akhirnya, mereka tahu cara memanggil hewan raksasa itu. Usai memberi makan, La Moelu bergegas pergi karena ia harus segera ke pasar dan ke sungai tuk memancing ikan. Kemudian, ketiga pemuda itu mendekat ke tepi laut. Mereka lalu berteriak memanggil Jinnande Teremombonga. “Jinnande Teremombonga! Datanglah kemari!” ucap pemuda lainnya. Tak lama kemudian, Jinnande Teremombonga datang ke tepi laut. Namun, saat melihat orang yang memanggilnya bukanlah Moelu, Jinnande Teremombonga langsung kembali pergi menjauh. “Hah? Kenapa ikan itu pergi lagi?” tanyanya. “Mungkin, dia takut padamu! Coba aku saja yang memanggilnya,” ucap salah satu pemuda. “Jinnande Teremombonga! Kemarilah!” teriaknya. Ikan itu datang mendekat, tapi mendapati yang datang bukanlah tuannya, ia kembali menghindar. Saat pemuda terakhir mencoba memanggilnya, hal itu terjadi lagi. Sampai akhirnya, mereka pun mengatur strategi. Upaya Menangkap Jinnande Teremombonga Setelah berdiskusi sekian lama, akhirnya ketiga pemuda itu menemukan rencana. Salah satu dari mereka akan memanggil Jinnande Teremombonga, saat tiba di tepi laut, kedua pemuda lainnya akan menangkapnya dengan tombak. Dan ternyata, rencana mereka berhasil. Ketika Jinnande Teremombonga tiba di tepi laut, kedua pemuda itu langsung menghunus perutnya dengan tombak. Meski sempat mencoba melawan, Jinnande Teremombonga akhirnya kalah dan mati. Dengan teganya, para pemuda itu lalu memotong-motong Jinnande Teremombonga dan membagi rata. Lalu, mereka membawa sebagian ikan ke pasar dan menjualnya. Sisanya mereka bawa pulang ke rumah masing-masing. Keesokan harinya, La Moelu kembali ke laut untuk memberi makan temannya. Tentunya, ia belum tahu nasib buruk yang menimpa ikan kesayangannya itu. Ia memanggilnya berulang kali, tapi ikan itu tak kunjung datang. “Jinnande Teremombonga, kenapa kau tak kunjung mendatangiku? Apa kau tak lapar? Ada apa denganmu?” ucapnya cemas. Sudah cukup lama ia menanti temannya itu. Ia berkali-kali memanggilnya, tapi tak kunjung ada yang mendekat. Bahkan, ia memanggilnya lebih keras, tapi Jinnande Teremombonga tak kunjung datang. La Moelu pun mulai cemas. Ia khawatir bila ada suatu hal buruk yang menimpa kawannya. “Ke mana perginya dirimu? Jangan-jangan ada suatu hal buruk yang menimpamu?” gumamnya dalam hati. Hingga sore tiba, Jinnande Teremombonga tak kunjung menampakkan diri. Karena lelah, ia memutuskan tuk pulang. Dengan raut wajah sedih dan kecewa, La Moelu menceritakan kesedihannya pada sang ayah. Tetangga yang Jahat Saat malam datang, tiba-tiba saja La Moelu menghirup aroma sedap ikan goreng. Sontak, hal itu membuatnya teringat akan Jinnande Teremombonga. Ia bergegas dari tempat tidurnya dan mendatangi sumber aroma. Aroma sedap itu berasal dari rumah tetangganya. Ia pun mengunjungi rumah itu untuk memastikan ikan jenis apakah yang mereka goreng. Saat mendatangi rumah tetangganya, ia disambut dengan pemuda paling tua yang tadi pagi menangkap Jinnande Teremombonga. “Oh hai, pria kecil. Apa yang membuatmu datang kemari?” tanyanya. “Aku mencium aroma sedap ikan goreng dari rumahku. Apakah kamu yang sedang menggorengnya?” tanya La Moelu. “Wah, ternyata aromanya menyebar hingga ke rumahmu, ya. Iya, benar sekali. Saudaraku sedang menggoreng ikan. Kau mau?” jelas pemuda itu. “Tidak, terima kasih. Aku hanya penasaran, ikan jenis apa yang kalian goreng?” tanyanya penasaran. “Hanya ikan biasa. Kenapa?” jawab pemuda itu cemas. Ia nampaknya takut ketahuan bahwa ikan yang digorengnya sebenarnya adalah Jinnande Teremombonga. “Apakah ikannya besar? Apakah kau menangkapnya di lautan?” tanya La Moelu mendesak pemuda itu. Karena merasa terdesak, akhirnya pemuda itu membuat pengakuan. “Iya, kamu benar. Ikannya berukuran besar dan aku menangkapnya di lautan. Memangnya kenapa hai anak yatim?” ucapnya dengan nada mengejek. Betapa sakit hati La Moelu mendengar ucapan tersebut. Lalu, pemuda itu memberinya tulang Jinnande Teremombonga. “Ini aku berikan tulang ikannya. Karena dagingnya sebagian sudah kujual dan sisanya akan kami makan. Anggap saja ini kenang-kenangan buatmu,” ucapnya. Tentu saja La Moelu menerima tulang ikan itu. Sepanjang jalan, ia menangis tersedu. Ia tak menyangka teman yang ia rawat selama ini dimakan oleh tetangganya sendiri. Ayahnya lalu meminta La Moelu untuk mengubur Jinnande Teremombonga di belakang rumah mereka. Ia pun menuruti kata sang ayah. Karena masih bersedih, ia pun menangis di atas makam Jinnande Teremombonga. Sebuah Keajaiban Terjadi Keesokan harinya, La Moelu hendak memberikan sedikit air pada makam Jinnande Teremombonga. Ia tak ingin temannya kekeringan. Namun, betapa terkejut dirinya mendapati makam temannya ditumbuhi oleh pohon ajaib. Pohon itu berbatang emas, berdaun perak, berbunga intan, dan berbuah berlian. Karena terkejut, La Moelu pun berteriak, “Ayah, ayah! Kemarilah, Yah! Lihatlah pohon ini.” Sang ayah langsung mengambil tongkatnya dan berjalan ke belakang rumah. Alangkah terkejut dirinya memandang pohon itu. “Ini adalah berkah yang Tuhan berikan karena kamu telah merawat Jinnande Teremombonga dengan baik. Rawatlah pohon ini sebagaimana kamu merawat temanmu Jinnande Teremombonga,” ucap sang ayah dengan bijak. Sesuai perintah ayahnya, La Moelu merawat pohon itu dengan baik. Setiap pagi, ia menyirami dan memotong rumput-rumput di sekitar pohon itu. Sesekali, ia mengajaknya ngobrol. La Moelu menganggapnya seperti teman sendiri. Semakin hari, pohon itu semakin besar. Daun dan buahnya mulai berguguran. La Moelu mengambil daun-daun dan bunga itu lalu menjualnnya ke pasar. Tentu saja hal itu membuat ia dan ayahnya menjadi kaya raya. Meski begitu, mereka tak tamak. Ketika ada tetangganya yang mengalami kesulitan, mereka dengan senang hati membantu. Mereka juga tak gelap mata. Meski bisa menghasilkan banyak uang, mereka tak akan memetik bunga, daun, atau buah sebelum berguguran sendiri dari pohonnya. Suatu hari, ketiga pemuda yang dulu menangkap dan membunuh Jinnande Teremombonga datang ke rumah La Moelu. Mereka meminta maaf pada anak kecil itu. Bagaimana tidak, mereka ternyata sakit-sakitan setelah memakan daging Jinnande Teremombonga. Tubuh mereka gatal dan bersisik. Uang hasil penjualan ikan itu pun tak cukup buat berobat. Dengan ketulusan hati, La Moelu memaafkan mereka. Ia juga berpesan pada mereka agar tak mengambil lagi milik orang lain. Baca juga Cerita Rakyat Asal-Usul Ikan Pesut Mahakam dan Ulasan Menariknya, Sebuah Pelajaran Bagi Orang Tua Unsur Intrinsik Setelah membaca cerita rakyat La Moelu, apakah kamu penasaran dengan unsur intrinsiknya? Buat yang penasaran dengan ulasan seputar tema hingga pesan moralnya, langsung saja baca informasi di bawah ini; 1. Tema Inti cerita atau tema dari cerita rakyat La Moelu adalah tentang kasih sayang antar sesama makhluk hidup. Dengan ikhlas dan sungguh-sungguh, seorang anak laki-laki merawat ikan hasil tangkapannya. Meski telah dibebaskan di lautan, ia tetap memberi makan ikannya itu. Tak hanya itu saja, legenda ini juga mengisahkan tentang seorang anak yang pekerja keras. Meski hidup tanpa seorang ibu dan harus merawat ayahnya yang sudah tua, ia tak pernah mengeluh. 2. Tokoh dan Perwatakan Tokoh utama dalam cerita rakyat ini adalah La Moelu dan ayahnya. La Moelu digambarkan sebagai anak kecil yang tangguh dan pekerja keras. Meski kehidupannya mengalami kesulitan, ia tak pernah mengeluh. Ayahnya juga memiliki sifat yang tak kalah baik. Ia merupakan sosok ayah yang bijak dan pengertian. Hanya saja, ia sudah berusia senja sehingga tak kuasa untuk membantu anaknya bekerja. Dalam kisah ini juga terdapat tokoh antagonis, yakni tiga pemuda bersaudara yang merupakan tetangga La Moelu. Mereka adalah pembuat konflik dalam kisah ini yang digambarkan bersikap dingin, jahat, dan tidak punya hati nurani. 3. Latar Legenda yang berasal dari Sulawesi Tenggara ini menggunakan beberapa latar tempat. Beberapa di antaranya adalah rumah La Moelu, sungai tempat ia memancing, rumah tetangganya, dan belakang ruma 4. Alur Cerita Rakyat La Moelu Menceritakan plot dari awal hingga akhir secara berurutan, cerita rakyat La Moelu ini memiliki alur maju. Cerita bermula dari seorang anak yatim piatu yang tak sengaja menangkap ikan kecil. Ia memutuskan untuk memelihara ikan kecil itu. Namun, semakin hari, tubuh hewan tersebut semakin membesar. Akhirnya, La Moelu melepasnya ke lautan luas. Sebelum melepasnya, ia memberi nama ikannya Jinnande Teremombonga. Tiap pagi, ia memanggil Jinnande Teremombonga dan memberinya makan. Sayangnya, Jinnande Teremombonga ditangkap dan dibunuh oleh tetangga La Moelu. Mereka memakan dan menjualnya. Tentu saja La Moelu bersedih mendapati ikannya telah mati. Ia lalu membawa tulang temannya itu ke rumah dan menguburnya. Keeseokan harinya, keajaiban pun terjadi. Tulang ikan tersebut berubah menjadi pohon ajaib yang mengubah kehidupan La Moelu dan ayahnya. 5. Pesan Moral Setiap cerita rakyat Nusantara memiliki amanat atau pesan moral. Tak terkecuali cerita rakyat La Moelu. Kira-kira, apa sajakah pesan moral yang bisa kamu petik dari legenda ini? Tentu saja ada beberapa pesan moral, salah satunya adalah jadilah pekerja keras seperti La Moelu. Meski masih kecil, ia berkewajiban untuk menghidupi dirinya sendiri dan ayahnya. Setiap hari, ia mencari ikan tuk dimakan dan kayu bakar tuk dijualnya. Meski kehidupannya berat, ia tak pernah mengeluh. Dari tokoh utama ini, belajarlah untuk menyayangi seseama ciptaan Tuhan. Ia dengan baik dan hati-hati menjaga serta merawat Jinnande Teremombonga yang merupakan ikan peliharaannya. Cerita ini juga mengajarkan kamu untuk selalu berbakti dan menuruti perkataan orang tua. La Moelu selalu meminta izin dan pendapat dari ayahnya, serta menuruti nasihatnya. Ia tak pernah sekali pun membantah sang ayah. Berikutnya, jadilah orang yang sederhana dan tak tamak. Meski memiliki pohon berbatang emas, berdaun perak, berbunga intan, dan berbuah berlian, La Moelu dan ayahnya tidak sombong. Mereka justru kerap membantu tetangga yang sedang mengalami kesulitan. Pesan terakhir adalah jangan mengambil apa pun yang bukan milikmu, seperti yang dilakukan tiga pemuda dalam legenda ini. Karena mencuri ikan milik La Moelu, mereka pun terkena penyakit yang tak kunjung sembuh. Selain unsur-unsur intrinsiknya, jangan lupakan juga unsru ekstrinsik yang membangun cerita rakyat La Moelu. Unsur ekstrinsik ini biasanya berhubungan dengan nilai moral, sosial, dan budaya. Baca juga Cerita Rakyat Ular Kepala Tujuh dari Bengkulu & Ulasan Menariknya, Bukti Kerendahan Hati dan Keberanian Bisa Mengalahkan Kekejian Fakta Menarik Tak banyak fakta menarik yang dapat diulik dari cerita rakyat La Moelu ini. Berikut adalah ulasan singkatnya; 1. Ada Versi Cerita Lainnya Legenda atau cerita rakyat memang umumnya memiliki beberapa versi cerita. Begitu pula dengan cerita rakyat La Moelu. Ada satu versi cerita yang mengisahkan bahwa La Moelu tidak menghampiri rumah tetangganya yang menangkap Jinnande Teremombonga. Ia melihat sendiri tetangganya itu sedang menangkap Jinnande Teremombonga di laut. Tubuhnya yang terlalu kecil tak kuasa melawan tiga pemuda yang merupakan tetangganya itu. Bahkan, di depan matanya sendiri, La Moelu menyaksikan ikannya dimakan oleh ketiga pemuda tersebut. Tak ada hentinya anak kecil itu menangisi temannya. Usai memakan Jinnande Teremombonga, ketiga pemuda itu pun pergi meninggalkan tulang belulang. Dengan hati yang terluka, La Moelu mengumpulkan tulang ikan itu dan menguburnya di halaman rumah. Saat air matanya menetes di kuburan ikannya, tiba-tiba saja sebuah pohon tumbuh dari tanah itu. Ajaibnya, pohon itu berbatang emas dan berdaun perak. Baca juga Kisah tentang Si Kelingking Asal Jambi dan Ulasan Lengkapnya, Pelajaran untuk Tidak Meremehkan Penampilan Fisik Seseorang Suka dengan Cerita Rakyat La Moelu? Nah, inilah akhir dari artikel yang membahas cerita rakyat La Moelu beserta unsur intrinsiknya. Apakah kamu suka dengan kisahnya? Kalau suka, jangan ragu tuk membagikan artikel ini pada teman-temanmu, ya. Kalau kamu masih butuh kisah lainnya, langsung saja cek kanal Ruang Pena pada Ada cerita legenda Oheo, kisah Putri Gading cempaka, asal usul Danau Toba, dan masih banyak lainnya. Selamat membaca! PenulisRinta NarizaRinta Nariza, lulusan Universitas Kristen Satya Wacana jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, tapi kurang berbakat menjadi seorang guru. Baginya, menulis bukan sekadar hobi tapi upaya untuk melawan lupa. Penikmat film horor dan drama Asia, serta suka mengaitkan sifat orang dengan zodiaknya. EditorKhonita FitriSeorang penulis dan editor lulusan Universitas Diponegoro jurusan Bahasa Inggris. Passion terbesarnya adalah mempelajari berbagai bahasa asing. Selain bahasa, ambivert yang memiliki prinsip hidup "When there is a will, there's a way" untuk menikmati "hidangan" yang disuguhkan kehidupan ini juga menyukai musik instrumental, buku, genre thriller, dan misteri.
. 373 187 332 422 202 279 265 163
cerita rakyat dari sulawesi tenggara